Muhammad Shahab alias Tuanku Imam Bonjol muncul sebagai pemimpin dalam Perang Padri setelah Tuanku Nan Renceh menunjuknya sebagai Imam di Bonjol. Setelah Tuanku Nan Renceh meninggal, Tuanku Imam Bonjol sebagai pemimpin Kaum Padri.
Tuanku Imam Bonjol menyepakati Gencatan Senjata dengan Belanda dan pada tanggal 15 November 1825. Hal ini merupakan kesempatan bagi Tuanku Imam Bonjol untuk menghimpun kekuatan dan kembali merangkul kaum adat. Kaum Padri dan Kaum Adat di Minangkabau kembali bersatu setelah mencapai kesepakatan adat di Puncak Pato, Bukik Marapalam, Tanah Datar. Kesepakatan Adat itu mengahsilkan falsafah Minangkabau yang berbunyi “Adat basandi syara’. Syara’ basandi Kitabullah. Syara’ mangato, adat mamakai”.Artinya Aturan adat haruslah berdasarkan kepada ketentuan Agama. Dan Agama yang dimaksud adalah agama yang berdasarkan pada Kitabullah, yakni Agama Islam. Apapun yang dikatakan Agama, haruslah diterapkan pula ke dalam adat Minangkabau.
Belanda Langgar Perjanjian Masang
Belanda kembali ke Minangkabau setelah perang Diponegoro berakhir. Mereka ingin menguasai penanaman kopi di Minangkabau sebagai produk andalan Belanda di Eropa. Untuk dapat memenuhi keinginan itu Belanda harus mampu menundukkan kaum Padri.
Untuk melemahkan kekuatan lawan, Belanda melanggar Perjanjian Masang dengan menyerang Nagari Pandai Sikek. Pandai Sikek merupakan salah satu kawasan yang mampu memproduksi mesiu dan senjata api. Kemudian untuk memperkuat kedudukannya, Belanda membangun benteng Fort de Kock di Bukittinggi.
Sentot Prawirodirdjo, seorang panglima pasukan Pangeran Diponegoro yang membelot, membantu Letnan Kolonel Elout dalam berbagai serangan terhadap Kaum Padri.
Pada awal bulan Agustus 1831 Belanda berhasil menaklukkan Lintau dan mengendalikan Luhak Tanah Datar. Namun Tuanku Lintau berpindah ke kawasan Luhak Limo Puluah dan terus melakukan perlawanan.
Untuk mempercepat penyelesaian peperangan pada bulan Juli 1832 Belanda mengirimkan pasukan infantri dalam jumlah besar di bawah pimpinan Letnan Kolonel Ferdinand P. Vermeulen Krieger dari Jakarta. Sehingga Belanda berhasil menguasai Luhak Limo Puluah, bersamaan dengan meninggalnya Tuanku Lintau pada bulan Oktober 1832. Belanda juga berhasil memaksa mundur Kaum Paderi di Luhak Agam dan bertahan di Bonjol.
Pada saat pasukan Belanda membangun kubu pertahanan di Padang Mantinggi, Tuanku Rao memimpin Kaum Padri menyerang pada awal Januari 1833, yang mengakibatkan banyak korban di pihak Belanda. Namun Tuanku Rao menderita luka berat dalam pertempuran di Air Bangis, pada tanggal 29 Januari 1833. Tuanku Rao menemui ajalnya di atas kapal Belanda dan Jasadnya di buang ke laut.
Serangan Kaum Adat dan Padri
Pada tanggal 11 Januari 1833 Kaum Adat dan Kaum Padri bersama-sama menyerang beberapa kubu pertahanan dari garnisun Belanda secara mendadak. Sehingga atas tuduhan pengkhianatan, Letnan Kolonel Elout menangkap Sultan Tangkal Alam Bagagar pada tanggal 2 Mei 1833 di Batusangkar dan mengasingkannya ke Batavia.
Kemudian Belanda menunjuk Tuan Gadang di Batipuh sebagai Regent Tanah Datar menggantikan Sultan Tangkal Alam Bagagar.
Belanda menyadari saat ini tidak hanya berhadapan dengan Kaum Padri saja, melainkan seluruh masyarakat Minangkabau. Maka Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan pengumuman “Plakat Panjang” yang menyatakan bahwa Belanda tidak bermaksud untuk menguasai Nagari Minangkabau. Melainkan hanya untuk berdagang dan menjaga keamanan penduduk Minangkabau.
Meskipun masyarakat tidak harus membayar pajak. Namun wajib menanam kopi dan menjualnya kepada Belanda. Dengan dalih untuk pemenuhan biaya keamanan, pembangunan jalan, membuka sekolah, dan sebagainya. (TM)
Bersambung : Perang Padri II ; Takluknya Benteng Bonjol
Baca juga:
- Pengurus DPD Paralegal Pessel Terbentuk, Yusrizal Datuak Rajo Johan Sebagai Ketua Umum
- Perang Padri Pertama, Gerbang Masuk Penjajahan Belanda di Minangkabau
- Perjuangan Kemerdekaan di Sumatera Barat

