Pemerintah Darurat Republik Indonesia

Presiden Yang Terlupakan : Sjafruddin Prawiranegara

Setelah Kemerdekaan Indonesia di Proklamirkan, Negara berada dalam situasi yang tidak kondusif karena sedang menghadapi konflik dengan Belanda sehingga Indonesia mengalami perubahan bentuk Negara.

Sjafruddin Prawiranegara memproklamirkan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Bukittinggi pada 22 Desember 1948. Hal ini dilakukan setelah Belanda melakukan agresi militer ke dua dan menguasai Ibukota Yogyakarta. Di saat itu Belanda menangkap Soekarno, Hatta, dan separuh anggota kabinet.

Persiapan Pemerintahan Darurat

Pemerintahan Darurat ini tidak terbentuk begitu saja. Namun sudah dipersiapkan Sebelum Belanda kembali melakukan Agresi terhadap Indonesia untuk kedua kalinya. Belajar dari Agresi Militer Pertama oleh Belanda di saat masa gencatan senjata. Hal itu melanggar Perjanjian Linggardjati yang masih berlaku.

Setelah Perjanjian Renville, militer Belanda dan Indonesia melangsungkan gencatan senjata. Pada saat itu Pemerintah Indonesia mulai mempersiapkan pemerintahan darurat. Letkol Daan Jahja menyarankan pemerintah cadangan di wilayah Sumatra Tengah. Karena wilayah Jawa Tengah sudah terlalu sempit dan padat. Mohammad Hatta selaku Wakil Presiden merangkap Menteri Pertahanan saat itu, mulai memindahkan perwira militer dan pejabat-pejabat ke Bukittinggi mulai bulan Mei 1948 sebagai bibit pembentukan pemerintahan darurat.

Moehammad Hatta bersama Syafruddin pergi ke Bukittinggi untuk mempersiapkan dasar-dasar pemerintahan darurat tersebut, Pada bulan November 1948. Hatta memerintahkan Syafruddin untuk menjalankan pemerintah darurat apabila Belanda menguasai Yogyakarta.

Agresi Militer II

Sesuai dengan perkiraan sebelunya, Belanda kembali meluncurkan Agresi Militer untuk Kedua kalinya pada tanggal 19 Desember 1948. Artinya Belanda melanggar perjanjian Renville dengan menduduki Yogyakarta. Selain itu Belanda juga menangkap Sukarno dan Hatta beserta sebagian besar pejabat-pejabat pemerintah Indonesia. Belanda mengasingkan mereka ke Pulau Bangka.

Syafruddin mengetahui penangkapan tersebut hari itu juga dari Kolonel Hidajat Martaatmadja. Oleh karena Syafruddin bersama Gubernur Sumatra Teuku Muhammad Hasan dan wakilnya Mohammad Nasroen membahas situasi yang sedang terjadi.

Meski sempat ragu, Syafruddin bersama Teuku Muhammad Hasan dan Mohammad Nasroen memutuskan untuk mengumumkan didirikannya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada tanggal 22 Desember1948.

Syafruddin memilih gelar “Ketua” dalam sebutan jabatan PDRI bukan “Presiden”. Selain sebagai Ketua, Syafruddin juga merangkap jabatan sebagai Menteri Pertahanan, Penerangan dan Menteri Luar Negeri dalam struktur PDRI.

Syafruddin menunjuk Susanto TirtoprodjoI. J. Kasimo, dan Soekiman Wirjosandjojo sebagai Komisariat PDRI di Pulau Jawa. Setelah pengumuman tersebut, tokoh-tokoh PDRI mulai bergerak. Pemerintahan sipil bergerak ke arah Pekanbaru, sementara militer bergerak ke Aceh.

Karena mengalami sejumlah kesulitan, Syafruddin bersama pemerintahan sipil memutuskan untuk berpencar di Sungai Dareh dan berkumpul kembali di Bidar Alam.

Rombongan Syafruddin tiba di Bidar Alam pada tanggal 9 Januari 1949.  Selama berada di Badar Alam, Syafruddin berkomunikasi dengan pemimpin-pemimpin daerah, pasukan gerilya di bawah Kepemimpinan Jendral Sudirman dan dengan dunia internasional dengan memanfaatkan pemancar radio Angkatan Udara Republik Indonesia.

Syafruddin nyaris terbunuh dalam Peristiwa Situjuah yang menewaskan Chatib Sulaiman dan Arisun Sutan Alamsyah pada dini hari tanggal 15 Januari 1949. Syafruddin turut serta dalam rapat pada tanggal 14 Januari 1949 tersebut. Tetapi ia pergi malam sebelum Belanda datang menyerbu.

Dengan adanya kepemimpinan yang terpusat pada PDRI maka dapat menyatukan kelompok-kelompok pejuang perang gerilya di Jawa dan Sumatra. PDRI juga berkomunikasi dengan Mohammad Roem dan diplomat-diplomat Indonesia yang bertugas di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang memperkuat perjuangan perlawanan PDRI di meja perundingan.

Perjanjian Roem-Roijen

Akibat tekanan internasional dan perlawanan gerilya, pihak Belanda mendekati Sukarno dan Hatta dan berunding hingga menghasilkan Perjanjian Roem-Roijen.

Syafruddin dan Tokoh pimpinan perjuangan lain seperti Sudirman tidak setuju atas perundingan tersebut. Karena pada saat itu mandat pemerintahan Indonesia pada saat itu adalah PDRI bukan pada Sukarno dan Hatta yang saat itu berada di Bangka. Bahkan Sukarno dan Hatta sebelumnya juga tidak berbicara dengan PDRI dalam proses negosiasi tersebut.

Muhammad Hatta berupaya membujuk Syafruddin menerima hasil perjanjian Perjanjian Roem-Roijen. Hatta mengutus Mohammad NatsirJohannes Leimena dan Abdoel Halim ke Sumatera Barat, dan menjemput para pemimpin PDRI ke Yogyakarta.

Setelah melewati perundingan yang alot di Padang Japang, Kabupaten Lima Puluh Kota, Pada tanggal 6 Juli 1949, Syafruddin menerima hasil Perjanjian Roem-Roijen demi persatuan nasional. Pada 13 Juli 1949, Syafruddin mengembalikan mandat selaku Ketua PDRI ke Sukarno.

Asal Usul Keturunan

Syafruddin lahir pada tanggal 28 Februari 1911 di Anyer KidulKabupaten SerangKeresidenan Banten . Ayahnya, Raden Arsjad Prawiraatmadja, keturunan  berdarah Suku Banten. Dan ibunya Noer’aini keturunan dari Sutan Alam Intan yang masih keturunan raja Pagaruyung di Sumatera Barat yang dibuang ke Banten karena terlibat Perang Padri. (TM)

Baca juga: