Benteng Bonjol

Perang Padri II ; Takluknya Benteng Bonjol

Pada tanggal 23 Agustus 1833 Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johannes van den Bosch mendesak Komisaris Pesisir Barat Sumatra, Mayor Jenderal Riesz dan Letnan Kolonel Elout untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol yang merupakan pusat komando pasukan Padri. Namun berkat taktik serangan gerilya, Kaum Padri berhasil memperlambat serangan Belanda ke Benteng Bonjol. Bahkan Pasukan Padri berhasil merampas hampir semua perlengkapan perang pasukan Belanda. Sehingga ada tanggal 21 September 1833, Van den Bosch melaporkan kegagalan penyerangan ke Benteng Bonjol.

Pada tanggal 21 April 1835 Letnan Kolonel Bauer memimpin pasukan Belanda menuju Masang dengan memecah pasukannya menjadi dua bagian. Masing-masing bergerak dari Matur dan Bamban menuju Bonjol. Pasukan ini mesti menyeberangi sungai, menyelusup ke dalam hutan rimba, mendaki gunung dan menuruni lembah guna membuka jalur baru.

Pada tanggal 23 April 1835 pasukan Belanda sampai di Sipisang yang masih dikuasai oleh Kaum Padri. Sehingga pecah pertempuran sengit selama tiga hari tiga malam tanpa henti. Karena kekuatan yang tak sebanding, pasukan Kaum Padri terpaksa mundur ke hutan-hutan rimba sekitarnya. Sehingga Belanda menjadikan Sipisang sebagai kubu pertahanan sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.

Dan pada tanggal 8 Juni 1835 pasukan Belanda berhasil menguasai daerah Padang Lawas. Selanjutnya pada tanggal 16 Juni 1835 tengah malam, kemudian mereka mencuba membuat kubu pertahanan. Selanjutnya pasukan Belanda menembaki Benteng Bonjol  dengan menggunakan houwitsermortir dan meriam dari jarak 250 langkah. Namun Kaum Padri membalas serangan dengan menembakkan meriam pula dari Bukit Tajadi. Sehingga banyak pasukan Belanda menjadi korban. Sehingga Belanda kembali mengirim 2000 orang pasukan tambahan pada tanggal 21 Juni 1835.

Pasukan Pribumi Dukungan Belanda

Belanda kembali melakukan serangan ofensif pada pertengahan Agustus 1835 terhadap kubu-kubu pertahanan Kaum Padri yang berada di Bukit Tajadi. Serangan ini menempatkan pasukan dari Suku Bugis di barisan depan pasukan Belanda. Namun serangan itu tidak meruntuhkan pertahanan Kaum Padri. Bahkan pada tanggal 5 September 1835, Kaum Padri menyerbu dan menghancurkan kubu-kubu pertahahan Belanda di sekitar Bukit Tajadi.

Keberanian Kaum Padri, membangkitkan semangat rakyat Simpang Alahan Mati. Mereka menyerang kubu-kubu pertahanan pasukan Belanda pada tanggal 11 Desember 1835. Serangan ini membuat pasukan Belanda kewalahan sehingga mengirim bantuan dari serdadu-serdadu Madura yang menjadi bagian dari pasukan Belanda.

Pada tanggal 3 Desember 1836, pasukan Belanda kembali melakukan serangan besar-besaran terhadap Benteng Bonjol dan berhasil membunuh beberapa keluarga Tuanku Imam Bonjol. Namun Pasukan Belanda tetap gagal menaklukkan Benteng Bonjol.

Selanjutnya, 36 perwira pribumi dan 4.130 tentara pribumi tergabung dalam pasukan Belanda dengan intensif mengepung Bonjol dari segala arah. Perwira dan tentara pribumi ini sebagian besar terdiri dari suku Jawa, Madura, Bugis dan Ambon. Mereka tergabung dalam pasukan besar yang meyertakan 148 perwira Eropa, 1.103 tentara Eropa, dan 116 tentara Afrika yang berasal dari Ghana dan Mali. Peristiwa ini berlangsung selama enam bulan. Sejak tanggal 16 Maret sampai dengan 17 Agustus 1837.

Serangan Belanda datang bertubi-tubi. Hujan peluru dari pasukan artileri, meriam-meriam besar, serta pasukan infantri dan tentera berkuda yang terus berdatangan. Pada tanggal 16 Agustus 1837 Letnan Kolonel Michiels sebagai komandan lapangan terdepan menaklukkan Benteng Bonjol secara keseluruhan. Namun Tuanku Imam Bonjol beserta beberapa pengikutnya berhasil keluar dari benteng menuju daerah Marapak.

Perang Padri Berakhir

Bulan Oktober 1837 Tuanku Imam Bonjol berhasil tertipu dan tertangkap Belanda. Dan pada tanggal 23 Januari 1838, Imam Bonjol dibuang ke Cianjur, lalu dipindahkan ke Ambon pada akhir tahun 1838. Kemudian pada tanggal 19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol dipindahkan ke Lotta, Minahasa. Setelah 27 tahun lamanya, pada tanggal 8 November 1864, Tuanku Imam Bonjol meninggal dunia dan dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut.

Setelah Belanda berhasil menguasai Benteng Bonjol dan menangkap Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Tambusai memimpin pasukan Padri di Dalu-dalu, Rokan Hulu. Tanggal 28 Desember 1838 Pasukan Belanda menyerang Dalu-dalu. Tuanku Tambusai bersama sisa-sisa pengikutnya pindah ke Negeri  Sembilan di Semenanjung Malaya.

Akhirnya Belanda menyatakan Perang Padri selesai dan menetapkan Kerajaan Pagaruyuang dan wilayah Padangse Bovenlanden  berada di bawah pengawasan Pemerintah Hindia Belanda. (TM)

Perang Padri II

Perang Padri II ; Belanda Melanggar Perjanjian Masang

Muhammad Shahab alias Tuanku Imam Bonjol muncul sebagai pemimpin dalam Perang Padri setelah Tuanku Nan Renceh menunjuknya sebagai Imam di Bonjol. Setelah Tuanku Nan Renceh meninggal, Tuanku Imam Bonjol sebagai pemimpin Kaum Padri.

Tuanku Imam Bonjol menyepakati Gencatan Senjata dengan Belanda dan pada tanggal 15 November 1825. Hal ini merupakan kesempatan bagi Tuanku Imam Bonjol untuk menghimpun kekuatan dan kembali merangkul kaum adat. Kaum Padri dan Kaum Adat di Minangkabau kembali bersatu setelah mencapai kesepakatan adat di Puncak Pato, Bukik Marapalam, Tanah Datar. Kesepakatan Adat itu mengahsilkan falsafah Minangkabau yang berbunyi “Adat basandi syara’. Syara’ basandi Kitabullah. Syara’ mangato, adat mamakai”.Artinya Aturan adat haruslah berdasarkan kepada ketentuan Agama. Dan Agama yang dimaksud adalah agama yang berdasarkan pada Kitabullah, yakni Agama Islam. Apapun yang dikatakan Agama, haruslah diterapkan pula ke dalam adat Minangkabau.

Belanda Langgar Perjanjian Masang

Belanda kembali ke Minangkabau setelah perang Diponegoro berakhir. Mereka ingin menguasai penanaman kopi di Minangkabau sebagai produk andalan Belanda di Eropa. Untuk dapat memenuhi keinginan itu Belanda harus mampu menundukkan kaum Padri.

Untuk melemahkan kekuatan lawan, Belanda melanggar Perjanjian Masang dengan menyerang Nagari Pandai Sikek. Pandai Sikek merupakan salah satu kawasan yang mampu memproduksi mesiu dan senjata api. Kemudian untuk memperkuat kedudukannya, Belanda membangun benteng Fort de Kock di Bukittinggi.

Sentot Prawirodirdjo, seorang panglima pasukan Pangeran Diponegoro yang membelot, membantu Letnan Kolonel Elout dalam berbagai serangan terhadap Kaum Padri.

Pada awal bulan Agustus 1831 Belanda berhasil menaklukkan Lintau dan mengendalikan Luhak Tanah Datar. Namun Tuanku Lintau berpindah ke kawasan Luhak Limo Puluah dan terus melakukan perlawanan.

Untuk mempercepat penyelesaian peperangan pada bulan Juli 1832 Belanda mengirimkan pasukan infantri dalam jumlah besar di bawah pimpinan Letnan Kolonel Ferdinand P. Vermeulen Krieger dari Jakarta. Sehingga Belanda berhasil menguasai Luhak Limo Puluah, bersamaan dengan meninggalnya Tuanku Lintau pada bulan Oktober 1832. Belanda juga berhasil memaksa mundur Kaum Paderi di Luhak Agam dan bertahan di Bonjol.

Pada saat pasukan Belanda membangun kubu pertahanan di Padang Mantinggi, Tuanku Rao memimpin Kaum Padri menyerang pada awal Januari 1833, yang mengakibatkan banyak korban di pihak Belanda. Namun Tuanku Rao menderita luka berat dalam pertempuran di Air Bangis, pada tanggal 29 Januari 1833. Tuanku Rao menemui ajalnya di atas kapal Belanda dan Jasadnya di buang ke laut.

Serangan Kaum Adat dan Padri

Pada tanggal 11 Januari 1833 Kaum Adat dan Kaum Padri bersama-sama menyerang beberapa kubu pertahanan dari garnisun Belanda secara mendadak. Sehingga atas tuduhan pengkhianatan, Letnan Kolonel Elout menangkap Sultan Tangkal Alam Bagagar pada tanggal 2 Mei 1833 di Batusangkar dan mengasingkannya ke Batavia.

Kemudian Belanda menunjuk Tuan Gadang di Batipuh sebagai Regent Tanah Datar menggantikan Sultan Tangkal Alam Bagagar.

Belanda menyadari saat ini tidak hanya berhadapan dengan Kaum Padri saja, melainkan seluruh masyarakat Minangkabau. Maka Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan pengumuman “Plakat Panjang” yang menyatakan bahwa Belanda tidak bermaksud untuk menguasai Nagari Minangkabau. Melainkan hanya untuk berdagang dan menjaga keamanan penduduk Minangkabau.

Meskipun masyarakat tidak harus membayar pajak. Namun wajib menanam kopi dan menjualnya kepada Belanda. Dengan dalih untuk pemenuhan biaya keamanan, pembangunan jalan, membuka sekolah, dan sebagainya. (TM)

Pahlawan-Nasional-Asal-Minangkabau

Pahlawan Nasional Dari Minangkabau

Pahlawan-pahlawan asal Minangkabau telah memberikan sumbangan yang sangat signifikan dalam sejarah bangsa Indonesia. Baik melalui perjuangan langsung di medan perang, keterlibatan penting dalam diplomasi, maupun ide-ide yang berkontribusi untuk membangun fondasi negara.

Keberanian, komitmen, dan pengorbanan yang mereka tunjukkan menjadi teladan yang menginspirasi tidak hanya bagi komunitas Minangkabau, tetapi juga bagi seluruh bangsa Indonesia. Semangat perjuangan mereka mengajarkan kita mengenai signifikansi rasa nasionalisme, persatuan, dan keberanian dalam menghadapi berbagai tantangan demi kemajuan negara.

Dengan mempelajari usaha para pahlawan ini, kita dapat belajar untuk lebih menghargai makna kemerdekaan melalui pengorbanan dan penderitaan. Prinsip-prinsip yang mereka usahakan menjadi dasar bagi kita untuk membangun masa depan Indonesia dengan semangat yang serupa. Semoga cerita inspiratif mereka senantiasa memotivasi kita untuk terus berusaha dengan keras dan menjaga kesatuan dalam membangun tanah air kita yang tercinta.

Berikut adalah pahlawan nasional dari Sumatra Barat beserta sumbangan besar mereka dalam perjuangan untuk kemerdekaan dan perkembangan Indonesia:

  1. Mohammad Hatta

Mohammad Hatta adalah seorang proklamator kemerdekaan Indonesia dan juga menjabat sebagai Wakil Presiden pertama Republik Indonesia. Dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia, Hatta lahir di Bukittinggi dan merupakan seorang ekonom yang berkontribusi signifikan dalam merumuskan sistem ekonomi Indonesia setelah kemerdekaan. Bersama Soekarno, Hatta memimpin usaha diplomatik untuk mendapatkan pengakuan internasional atas kemerdekaan Indonesia.

  1. Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol merupakan tokoh penting dalam Perang Paderi (1821-1837), suatu perjuangan besar melawan penjajahan Belanda di daerah Minangkabau. Ia merupakan seorang ulama dan pemimpin militer yang dengan tekun melawan penjajah, bertujuan untuk melindungi agama dan menjaga kemerdekaan masyarakat. Meskipun pada akhirnya ia tertangkap dan diasingkan oleh Belanda, usaha serta perjuangannya tetap diingat sebagai lambang perlawanan terhadap penjajahan.

  1. Haji Agus Salim

Haji Agus Salim merupakan seorang tokoh cendikiawan, diplomat, dan pejuang kemerdekaan Indonesia yang lahir di Koto Gadang, Sumatra Barat. Dia terkenal sebagai salah satu tokoh penting dalam diplomasi Indonesia yang berperan dalam membangun hubungan internasional Indonesia pada masa awal kemerdekaan. Agus Salim memainkan peran yang signifikan dalam pengembangan gerakan nasionalisme melalui organisasi Sarekat Islam serta Partai Politik Indonesia.

  1. Tan Malaka

Tan Malaka merupakan seorang pemikir revolusioner yang telah memberikan sumbangan signifikan terhadap kemajuan ideologi perlawanan di Indonesia. Lahir di Suliki, Sumatra Barat, Tan Malaka berjuang untuk kemerdekaan Indonesia melalui pemikiran dan tulisan-tulisannya yang inovatif. Walaupun aktif dalam gerakan rahasia dan sering berpindah tempat, ia tetap sebagai salah satu individu yang paling berpengaruh dalam sejarah usaha meraih kemerdekaan Indonesia.

  1. Sutan Sjahrir

Sutan Sjahrir merupakan perdana menteri yang pertama bagi Indonesia, dan ia juga berasal dari Sumatra Barat. Ia terkenal sebagai pemikir dan politisi yang seimbang, yang memimpin Indonesia dalam periode-periode sulit setelah meraih kemerdekaan. Sjahrir turut aktif dalam gerakan nasional dan merupakan figur kunci dalam diplomasi internasional yang menjamin pengakuan dunia terhadap kemerdekaan Indonesia.

  1. Rasuna Said

Rasuna Said merupakan salah satu tokoh wanita penting dari Sumatra Barat yang berjuang untuk hak-hak perempuan dan peningkatan pendidikan. Sebagai salah satu pencari kemerdekaan, ia terlibat secara aktif dalam aktivitas politik dan mendirikan organisasi untuk memperjuangkan kesetaraan gender di Indonesia. Namanya dikenang sebagai nama jalan di berbagai kota besar di Indonesia sebagai bentuk penghormatan atas kontribusinya. (TM)